INDONESIA DALAM BIOGRAFI PIKIRAN

 

 

Damhuri Muhammad





(versi cetak artikel ini tersiar di harian Media Indonesia, Minggu 28 April 2013)


Pesawat capung melintas di langit Barebba, ketika seorang bocah bermain di bawah pohon asam yang membatasi wilayah permukiman dan hamparan sawah. “Jika besar nanti, aku mau naik kapal terbang seperti itu. Aku akan hinggap di atas pohon asam ini,” gumamnya pada seorang kawan. Impian kanak-kanak itulah titik paling mula pengembaraan Mochtar Pabottingi, menembus lapis demi lapis cakrawala. Bukan semata-mata perjalanan spasial melintasi benua hingga berlabuh di Amerika Serikat, tapi juga tarikh pencapaian intelektual yang mengantarkannnya pada gagasan tentang “Indonesia”, yang mewujud-nyata--bukan sekadar bayangan sebagaimana ditegaskan Ben Anderson dalam terminologi imagined-society. 

Meski dibuhul dengan cerita dari serpihan-serpihan kenangan masa kecil di Bulukumba, masa menjadi aktivis di Yogyakarta, hingga kenangan masa perantauan di Amerika, novel bertajuk Burung-burung Cakrawala ini lebih tepat ditandai sebagai tarikh pikiran ketimbang sebuah riwayat hidup. Mochtar memadukan unsur bercerita dengan sikap intelektualnya, terutama dalam gagasan tentang tradisi-visi, nasionalisme, egalitarianisme, dan konsep negara-bangsa. Jejak pikiran dalam buku ini bukan textbook yang penuh-sesak catatan kaki sebagaimana lazimnya tulisan akademisi sekaliber Mochtar Pabottingi. Ia melakukan simplifikasi pemahaman terhadap ide-ide besar di sela pengisahan pergaulan masa muda, kedekatannya dengan sejawat-sejawat berbeda agama, hingga romantikanya dengan Nahdia, istri yang bersetia dalam situasi sesulit apapun.   




Narasi sastrawi yang merefleksikan kesadaran “menjadi Indonesia”, tentu bukan pilihan yang tiba-tiba bagi Mochtar. Jauh sebelum menjadi profesor ilmu politik, ia adalah seorang penulis cerpen. Sejak 1963 hingga 1967 cerpennya Wanita dan Kota,  Kuli, Borero, telah tersiar di Pos Minggu Pagi, koran mingguan di Makassar. Bahkan pada 1964, ia memenangkan lomba penulisan cerita pendek se-Sulawesi Selatan. Di tahun yang sama, ia juga menulis naskah drama berjudul Kujujuran Masih Ada, yang dipentaskan di Bulukumba dan Makassar. Selepas itu, karya-karyanya berhamburan di majalah Horison dan media-media nasional. Jalan kepengarangannya beroleh apresiasi dari sastrawan senior Makassar seperti Rahman Arge, Husni Jamaluddin, dan Arsal Alhabsi. Ia penyuka komik kelas berat, cerita silat, roman-roman balai pustaka, novel asing, dan penggemar film. Inilah cakrawala Mochtar yang pertama; menemukan ruang yang lapang di ranah sastra, tempat ia mengembangkan layar estetik guna menumpahkan segenap pengalaman literer yang mendahului usianya.

Cakrawala selanjutnya adalah kesadaran melawan otoritarianisme Orde Baru. Mochtar tampil di barisan depan demonstrasi malam 31 Desember 1973 yang dikenal sebagai Malam Keprihatinan Nasional. Ia sempat diinterogasi aparat, sebab demonstrasi itu hanya berjarak beberapa hari dengan peristiwa Malari 1974. “Pikiran” yang terkandung dalam cakrawala ini adalah penolakan terhadap legitimasi teoretis tiga indonesianis asal Amerika--Harry Benda, Clifford Geertz, Ben Anderson--yang sama-sama berpandangan bahwa kebudayaan Indonesia sejak dulu memang  sudah ditandai oleh paham dan praktik ketaksetaraan (hal 309). Ia menyangkal pembenaran akademik yang terlalu berpatokan pada “sistem nilai” tersebut. Bagi Mochtar, sebagaimana terbaca dalam artikel  Kebudayaan Bukanlah Terdakwa; tidaklah benar untuk tiap kali menjelaskan kemajuan maupun keterbelakangan suatu bangsa dengan menunjuk pada kebudayaannya. Gagasan ini disiarkan guna menyanggah konsep determinasi kebudayaan yang telah disuarakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana sejak zaman Polemik Kebudayaan. Secara tidak langsung, Mochtar kemudian juga mengambil posisi yang berseberangan dengan Soedjatmoko, sehubungan dengan artikel Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan. Baik STA maupun Soedjatmoko, menempatkan kebudayaan praktis sebagai satu-satunya penentu. Sebaliknya Mohctar berpandangan bahwa kebijakan-kebijakan nyata di bidang ekonomi dan politik lah yang menentukan layu atau mekarnya pembangunan kebudayaan. Maka, dalam menelusuri kebudayaan Nusantara-Indonesia, ia menempatkan kebudayaan sebagai variabel “yang sangat ditentukan” (hal 286). Kebudayaan yang dirancang sedemikian rupa guna memuluskan agenda-agenda kuasa kolonial. Pola-pola terencana semacam inilah yang kemudian menitis ke dalam kuasa Orde Baru.

Sebagai novel, alur pengisahannya terlalu linear, tanpa tikungan, apalagi tanjakan tajam yang menghentakkan, namun sebagai tarikh pikiran, ia  menjelaskan asbab alwurud dari gagasan-gagasan penting Mochtar dalam diskursus ilmu politik. Mendedahkan proses “kemenjadian” pemikiran yang genuine, dan dapat dicerna secara gamblang. Bukan saja karya intelektual penulis, buku ini juga mengurai berbagai latar belakang pemikiran yang berpengaruh pada alam intelektualnya, yang disampaikan dengan ungkapan-ungkapan prosaik yang jernih dan bersahaja.

Perantauan di Amherst dan Honolulu menjadi cakrawala Mochtar yang lain. Ia terpesona dan hampir jatuh cinta pada keadaban Amerika. Meski dalam batas-batas tertentu tak bisa menerima alam liberal yang diberhalakan banyak orang, namun burung yang telah terbang begitu jauh, hampir bersarang di keteduhan alam Honolulu. Hamparan pasir putih pantai Waikiki, bunga-bunga musim semi di jalan East-West Road, suasana keakraban di apartemen Kalakaua Avenue, apalagi kehangatan dengan Nahdia yang kembali menyala, pun dengan Pilar, Yogas, Dian, Adhya. Namun, cakrawala paling puncak yang ditembus Mochtar selama bermukim di Amerika justru kesadaran tentang betapa nyatanya negeri bernama Indonesia. Bersusah-payah ia membuktikan sejarah mula-mula egalitarianisme dalam kebudayaan Nusantara yang bersinergi dengan nasionalisme guna memancangkan Indonesia, hingga afirmasi-afirmasi teoretis para Indonesianis bertumbangan. Maka, pohon asam masa kecil itu benar-benar menjadi tempat hinggap seekor burung, setelah terbang jauh menembus lapis-lapis cakrawala.


DATA BUKU


Judul            :  Burung-burung Cakrawala
Penulis         :  Mochtar Pabottingi
Penerbit       :  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan       :  I,  2013
Tebal            :  386  halaman


Damhuri Muhammad
Esais, Kolumnis


           
              

Comments

Popular Posts