Kampung Halaman sebagai Terminal
Oleh: Damhuri
Muhammad
(Majalah TEMPO, edisi 5-11 Agustus 2013)
Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen Yang Menunggu dengan Payung karya
Zelfeni Wimra, berdenyut di ruang penantian. Ironisnya, meski yang dinanti tak bakal
datang, iman penantian justru kian teguh. Inilah lelaku Rahma dalam cerpen yang
dipilih sebagai judul buku. Saban hari ia menanti kedatangan ayah, dan terus meyakinkan
ibu bahwa pada suatu hari yang hujan, dari ujung jalan, ia akan menuntun
ayahnya pulang dengan payung. Juga menunggu Rahman, yang berjanji segera pulang
dari rantau untuk menikahinya. Tapi, sebelum kedatangan ayah, sebelum Rahman
tiba, kampungnya diguncang gempa.Ratusan orang tertimbun reruntuhan, termasuk
Rahma dan ibunya. Penantian Rahma terbawa sampai mati.
Penantian
selanjutnya, lelaki pembuat gula merah dalam Suara Serak di Seberang Radio. Saat nira mendidih, ia selalu menyalakan
radio, dan tak pernah pindah gelombang dari acara Kotak Pos. Suara serak penyiar membacakan kartu pos dari pendengar telah menjadi
kegemarannya. Yarman mengirim dua kartu sekaligus. Satu untuk dibacakan, satu
lagi khusus untuk penyiar bersuara serak. Tapi, acara itu kemudian tak
mengudara lagi. “Orang-orang lebih suka mengirim pesan singkat dengan telpon
genggam,” (hal 37). Penantian Yarman adalah perjumpaan dengan penyiar bernama
Ratna. Lagi-lagi, penantian tak
bermuara. Namun, hanya dengan lelaku penantian Yarman riang dalam sendiri. Ratna
juga sedang menanti sesuatu; kesempatan berkunjung ke sebuah dangau di hulu
Batangmaek, tempat Yarman lapuk digasak sepi. Siapa sesungguhnya yang menanti? Keduanya
telah menjadi subjek sekaligus objek penantian. Perjumpaan Yarman-Ratna tak
pernah terjadi, tapi bukankah hidup akan lebih berdenyut bila ada sesuatu yang
dinanti?
Lain
pula dengan penantian Nining, perempuan tunarungu dalam Layang-layang Bulan (hal.57). Ia menanti perjumpaan dengan kawan
masa kecil, Gugun. Teman bermain layang-layang di sebuah terminal regional yang
telah berubah menjadi mal. Nining menapaktilasi puing kenangan dan ingin berjumpa
kembali dengan Gugun. Tapi, Gugun sudah pergi dari kampung. Lelaki dambaan
Nining itu bahkan dikabarkan telah menjadi liar. Di rantau, hidupnya tergadai
pada seorang perempuan, yang membiayai sekolahnya, hingga ia harus mengabdi
padanya. Tak ada lagi cerita tentang layang-layang masa kecil, tapi Nining
tiada henti menanti.
Ungkapan-ungkapan
prosaik Wimra melenting-melenting, bahkan dalam beberapa bagian terasa tegang.
Cerpen Di Atas Dipan Penantian
misalnya. Gadis yang terbaring sakit terasa seperti orang sehat berstamina prima.
Alih-alih ringis kesakitan, yang
mengemuka justru kelisanan yang menyala-nyala. Bila sebuah cerita dapat
diamsalkan dengan ikan dalam kuali, adakalanya ia digoreng tak terlalu garing, agar
bumbu meresap sempurna. Ungkapan yang melenting-lenting ibarat menggoreng ikan terlalu
garing, hingga berisiko menjadi kerupuk ketimbang ikan.
Wimra akrab dengan simbol terminal, tempat
orang-orang datang, singgah sejenak, untuk kembali pergi. Bukan saja terminal
spasio-temporal, tapi juga terminal artifisial. Cerpen Terminal Dua Kepulangan misalnya, tentang imam masjid terminal yang
meninggal dunia tanpa dihadiri sanak-saudara. Anaknya yang bersekolah di kota
berbeda, bahkan tak sempat melihat jenazah untuk kali terakhir, lantaran ia
sudah dikuburkan warga sekitar. Dalam perjalanan bis menuju kota tempat masjid
terminal itu berada, ia merasa sedang “pulang”, padahal ia tak punya rumah. Ibunya
telah lama pulang ke Jawa, ayahnya hanya dipercaya menjadi pengurus dan tinggal
di masjid itu.
“Terminal”
dalam cerpen itu bermakna ganda. Pulangnya seorang manusia ke alam baqa, dan
pulangnya seorang anak setelah mendengar kabar ayahnya meninggal.Wimra merancang
alegori; dunia sebagai terminal. Semua hasrat penantian yang menjadi perhatian
pokoknya seperti orang-orang yang menunggu di terminal. Hanya menunggu
orang-orang singgah, bukan yang sungguh-sungguh pulang. Setelah mampir mereka menyandang
ransel untuk berangkat kembali.
Di Payakumbuh--kampung halaman kepengarangan Wimra--bila seorang perantau mudik, hari pertama
akan disambut gembira, hari kedua diajak bicara, disuguhkan segala macam
hidangan, tapi hari ketiga biasanya akan ditanya “kapan balik ke rantau?” Padahal,
lantaran rindu atau karena sulitnya hidup di negeri orang, belum tentu ia akan
kembali. Lama dinanti, tapi bila sudah tiba, lekas ditanya kapan bakal pergi
kembali. Maka, yang dinanti-nanti sesungguhnya tak pernah datang. Kalaupun
tiba, bukankah ia akan pergi kembali? Kampung halaman telah beralih-rupa
menjadi terminal belaka.
DATA BUKU
Judul : Yang Menunggu dengan Payung
Penulis : Zelfeni
Wimra
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan :
I, Maret 2013
Tebal : 148
halaman
Comments