Dalam Kegamangan Manusia Urban
-->
Dalam lanskap dunia yang serba personal inilah para sastrawan urban menyelenggarakan proses kreatifnya. Dapat dibayangkan sejauh mana tingkat kepekaan mereka dalam merespons peristiwa-peristiwa sosial yang berlangsung setiap hari. Oleh karena itu, jangan dibayangkan dalam karya-karya mereka, akan tampil dengan kompleksitas persoalan kota besar sebagaimana yang pernah dilakukan Iwan Simatupang dalam cerpen Tunggu Aku di Pojok Jalan itu, misalnya. Prosa yang berkisah tentang sebuah pojok jalan tempat bertemu sekaligus tempat berpisahnya sepasang suami-istri. Bermula dari permintaan suami kepada istrinya untuk menunggu di pojok jalan, sementara ia hendak membeli rokok di warung. Namun si suami ternyata tidak kembali. Setelah 10 tahun berlalu, barulah suami itu muncul di pojok jalan yang sama. Tapi celakanya, si istri telah menjadi pelacur. Ketika ia hendak bercinta, istrinya meminta bayaran. Hal serupa pernah juga ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam cerpen Cerita dari Jakarta (2002, cetak ulang). Tentang seorang perempuan yang akhirnya menjadi pelacur lantaran keras dan asingnya realitas kota.
Menurut Alfayyadl, puisi-puisi Afrizal bahkan telah meninggalkan dikotomi kota/kampung, dan mengantisipasi berbagai perubahan kultural, sosial, dan politis yang meluruhkan pembagian-pembagian itu. Semua itu campur-aduk sedemikian rupa dalam puisinya, dengan cara tak terduga dan membingungkan, demi menunjukkan kekalutan, rasa frustasi, kemarahan, dan kemustahilan yang membayangi Indonesia hari ini. Sajak-sajak Afrizal dibangun dengan idiom-idiom “es krim”, “coklat”, “shampo”, “donat”, “sikat gigi”, body lotion, styling foam, “Coca-cola”, sejak tahun 1990-an, yang menurut Alfayyadl, mengantisipasi, tapi sekaligus membenarkan, datangnya suatu era baru, di mana benda-benda akan bertahta dan menggantikan manusia. Di dunia urban, kata Afrizal, “Kita hanya mengenang manusia, dari kota-kota, yang ditata kaleng-kaleng coca-cola” (Antropologi dari Kaleng-kaleng Coca-cola). Manusia tak lagi ditemukan, atau memang jangan-jangan, telah tiada. “Di manakah manusia kalian temukan di antara kartu pos, donat, dan serakan tisu?”
Rutininas yang semakin menyiksa, basa-basi yang membosankan, perilaku brutal di jalan raya, obsesi-obsesi yang membuat orang mempertaruhkan segalanya, tidur yang tak nyenyak lantaran minimnya rasa aman, pertemanan yang penuh kecurigaan, ternyata telah menguras banyak waktu dan tenaga. Oleh karena itu, subyek urban Jakarta sibuk menyelamatkan diri sendiri-sendiri--seperti menyelamatkan diri dari copet atau garong di Kopaja dan Metromini--terenyah-enyah berlari mengejar ekspektasi masing-masing. Tak terkecuali subyek pengarang, hingga yang muncul dalam karya-karya mereka adalah suara-suara “dari dalam diri”. Suara yang nyaris tenggelam dalam lautan kebisingan, yang senantiasa tersesat dalam lalu-lalang keramaian. Tak ada waktu untuk menyuarakan sesuatu “di luar diri”, lantaran mereka bukan malaikat penyelamat, bukan ratu adil, melainkan subyek yang juga tergilas oleh mesin-mesin urban dari waktu ke waktu. Maka, sebagaimana kata penyair Joko Pinurbo, tak ada lagi Minggu dalam diriku. Seluruh tubuhku sudah jadi hari kerja dan hari bicara.
*esai ini salah satu bagian dari paper panjang yang saya sampaikan dalam seminar sastra bertajuk "Suara Lokal, Suara Urban" pada Temu Sastrawan MPU, yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta, di Taman Menteng, Jakarta, 11 Oktober 2014.
-->
-->
Damhuri Muhammad
Tak ada
lagi Minggu dalam diriku
seluruh
tubuhku sudah jadi hari kerja dan hari bicara
(Joko Pinurbo, 2012)
Suatu ketika seorang sejawat pengarang,
membujuk saya untuk tinggal dan menetap di Jakarta. Sebuah kota, yang dalam
imajinasi sahabat karib itu, bagai gelanggang raksasa tempat segala rupa
pertarungan berlangsung begitu sengit, keras, dan beringas. Wahana tempat
segala macam kompetisi dan kontestasi berlangsung sedemikian runcing, kejam,
dan tiada ampun. “Kau bisa menjadi pengarang yang melambung setinggi langit,
tapi dalam sekejap bisa pula tenggelam dan tak muncul ke permukaan untuk selama-lamanya,”
katanya. Dengan intonasi suara yang dalam pendengaran saya terdengar sebagai “ancaman,”
ia juga menegaskan bahwa kepengarangan yang telah saya upayakan selama bertahun-tahun,
tidak akan ada gunanya, akan terbuang percuma, bilamana saya tidak berani hijrah
ke Jakarta, arena pertarungan yang sesungguhnya.
Maka,
gambaran saya tentang kota metropolitan yang selama beberapa dekade telah
menjadi kiblat bagi segala macam ukuran itu, adalah panggung besar yang mesti
dipanjati guna meraih pengakuan sebagai pengarang, sebagai penulis, sebagai
sastrawan. Bagi saya, di masa itu, seorang pengarang yang hendak bertolak ke
Jakarta, hampir tak ada bedanya dengan anak-anak muda berandalan yang memiliki sedikit
“modal” ilmu kanuragan dari kampung halaman--semacam tahan bacok atau kebal peluru, misalnya--yang mengadu ketangguhan dengan para jagoan
guna merebut kuasa di terminal Pulogadung, Pasar Tanah Abang, atau terminal
Grogol, misalnya. Barangsiapa yang bernyali mematahkan kuasa lama, seketika
akan ternobat dan diakui sebagai jawara baru, dengan keberlimpahan dan
ketersohoran yang bakal menyertai tarikh hidupnya.
Bertahun-tahun
kemudian, setelah saya benar-benar memberanikan diri untuk turun ke gelanggang panas
bernama Jakarta, saya harus mengenang dan membenarkan wejangan sejawat
pengarang itu. Di Taman Ismail Marzuki (TIM)--basecamp para seniman kelas berat--saya merasa seperti beruk yang masih
berbulu sekujur tubuhnya, lantaran baru keluar dari semak-belukar hutan
belantara. Kampungan, polos, dan gagap bercakap-cakap dengan dialek “lu-gue”.
Untuk bisa duduk satu meja dengan pengarang-pengarang beken di warung-warung
tenda sekitar kompleks TIM, sulit luar biasa bagi saya. Para sastrawan senior--tidak perlu saya sebut nama mereka--yang berusaha saya dekati dengan segenap
kesantunan ala kampung, tidak
menunjukkan sikap yang bersahabat. Mereka justru sinis, under-estimate, bahkan pada momen-momen tertentu, membuat saya
merasa terhina sebagai orang daerah. Tapi begitulah Jakarta, yang
perlahan-lahan saya pahami, saya maklumi, dan saya siasati, saban hari.
Lambat
laun, saya bisa beradaptasi dengan manusia-manusia urban di Jakarta. Bukan hanya
dengan kalangan praktisi sastra, tapi juga dengan individu-individu yang
menekuni dan menggeluti berbagai bidang kesenian. Saya tidak lagi minder,
berusaha “cuek” menyikapi sinisme, dan bila perlu saya juga memaklumatkan
sedikit arogansi, sekadar memperlihatkan bahwa saya pun telah lahir sebagai
subyek urban yang sama-sama mengais kemujuran, sebagaimana mereka. Saya mulai
akrab dengan dunia malam Jakarta, terbiasa menenggak sebotol-dua botol bir
dalam perjumpaan siang hari dengan klien di Senayan City atau Pacific Place,
dan tidak merasa asing dengan pergaulan just
having fun yang kerap terjadi di lingkungan seniman urban.
Selain
bekerja sebagai penulis profesional--fiksi atau nonfiksi--yang dapat tersiar di media mainstream atau diterbitkan di major-label publisher, di Jakarta juga
terbuka bermacam-macam peluang. Ada banyak politisi berlimpah harta benda yang
sedang membangun “proyek pencitraan” lewat buku biografi. Ada banyak pengusaha
yang hendak terjun ke dunia politik dan karena itu ia perlu diperkenalkan
melalui sebuah novel biografis. Banyak pula artis terkemuka yang berminat masuk
ke dunia sastra--supaya
tampak seperti manusia yang berbudaya. Pendek kata, bagi sastrawan urban,
khususnya di Jakarta, tersedia banyak jalan guna mendapatkan honorarium yang
jauh melebihi kompensasi pemuatan sebuah cerpen atau puisi di koran. Jasa
penulisan buku biografi dapat dibandrol dengan harga Rp.100 hingga 150 juta,
yang hanya digarap dalam waktu kurang lebih dua bulan. Bandingkan dengan
nominal honor cerita pendek atau honor puisi di koran nomor wahid sekalipun.
Dalam
suasana keberlimpahan itulah mereka dapat sedikit menikmati kesenyapan dalam lalu-lalang
kebisingan Jakarta. Menyendiri di café-café. Menulis dengan perkakas canggih, mulai
dari laptop, ipad, hingga smartphone layar sentuh seri terkini. Bila
di masa lalu, warung, kedai, atau café digunakan sebagai tempat untuk saling
bertemu, nongkrong bersama teman-teman, di café-café Jakarta masa kini, semua
orang memilih duduk di bangku kosong, memesan menu untuk kebutuhan sendiri,
lalu sibuk memencet keypad, dan
mengutak-atik scrolling pada gawai masing-masing, tanpa peduli
kanan-kiri.
Secara fisik
memang tampak ramai, namun dalam kenyataannya, mereka tak pernah saling
menyapa, apalagi bercengkrama, lantaran semuanya sedang mabuk-kepayang di dunia facebook,
twitter, instagram, dan semacamnya. Maka, yang saban petang duduk
berdampingan selama berbulan-bulan, bisa jadi tak pernah saling mengenal,
apalagi terlibat dalam perbincangan hangat dan penuh keakraban. Di ruang-ruang
publik, manusia-manusia urban ternyata justru sedang mencari kesendirian. Dan sebaliknya,
dalam kesendirian mereka merasa ramai,
lantaran punya ribuan sejawat virtual di media-media jejaring sosial. Inilah
semesta kesendiran yang palsu dan keramaian yang tak kasat mata.
Dalam lanskap dunia yang serba personal inilah para sastrawan urban menyelenggarakan proses kreatifnya. Dapat dibayangkan sejauh mana tingkat kepekaan mereka dalam merespons peristiwa-peristiwa sosial yang berlangsung setiap hari. Oleh karena itu, jangan dibayangkan dalam karya-karya mereka, akan tampil dengan kompleksitas persoalan kota besar sebagaimana yang pernah dilakukan Iwan Simatupang dalam cerpen Tunggu Aku di Pojok Jalan itu, misalnya. Prosa yang berkisah tentang sebuah pojok jalan tempat bertemu sekaligus tempat berpisahnya sepasang suami-istri. Bermula dari permintaan suami kepada istrinya untuk menunggu di pojok jalan, sementara ia hendak membeli rokok di warung. Namun si suami ternyata tidak kembali. Setelah 10 tahun berlalu, barulah suami itu muncul di pojok jalan yang sama. Tapi celakanya, si istri telah menjadi pelacur. Ketika ia hendak bercinta, istrinya meminta bayaran. Hal serupa pernah juga ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam cerpen Cerita dari Jakarta (2002, cetak ulang). Tentang seorang perempuan yang akhirnya menjadi pelacur lantaran keras dan asingnya realitas kota.
Pengarang-pengarang
urban hari ini tidak berselera menghadirkan persoalan-persoalan utama kota
besar seperti kemiskinan, premanisme, kemacetan yang hampir tak teratasi, tata
kota yang amburadul, layanan publik yang tak manusiawi, dan sederet persoalan manusia
urban Jakarta sepanjang hidup mereka. Jika ada, itu sekadar latar, atau yang
dalam dunia fotografi kerap disebut background. Kerunyaman masalah dalam
dunia urban tak sungguh-sungguh menjadi point
of interest (PoI) dalam kerja kreatif mereka. Barangkali karena lingkungan
sastra urban adalah bagian dari persoalan itu sendiri. Sebagaimana sudah saya
katakan, bahwa pertarungan untuk mendapatkan pengakuan sebagai pengarang di
Jakarta sama saja dengan pergulatan seorang pendekar kampung yang terobsesi
hendak menjadi jawara. Sama pula dengan ketatnya kompetisi di ajang pencairan
bakat di dunia seni musik semacam Indonesian
Idol, X-factor, atau The Rising Star.
Segala bentuk upaya pencarian tersebut berujung pada satu muara bernama; ketersohoran.
Maka, proses kreatif yang berlangsung adalah kesibukan-kesibukan artifisial
untuk meraih mimpi-mimpi besar, hingga lupa pada kedalaman gagasan, abai pada
kualitas kekaryaan. “Yang penting terkenal dulu, setelah itu baru serius berkarya.”
Adalah Afrizal
Malna, penyair yang sepanjang dua dekade telah mencurahkan perhatian pada
seluk-beluk dunia urban. Muhammad Alfayyadl dalam esainya Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna (2010), mencatat Afrizal
sebagai penyair urban yang paling konsisten menjelajah ruang urbannya. Ia
menjelajah ruang-ruang yang tak tersentuh di pekatnya kemiskinan di pinggiran
ibukota, makin sempitnya lahan, dan kehidupan yang makin berjejalan berbagi,
berebut, dan berkonflik di antara manusia-manusianya.
Menurut Alfayyadl, puisi-puisi Afrizal bahkan telah meninggalkan dikotomi kota/kampung, dan mengantisipasi berbagai perubahan kultural, sosial, dan politis yang meluruhkan pembagian-pembagian itu. Semua itu campur-aduk sedemikian rupa dalam puisinya, dengan cara tak terduga dan membingungkan, demi menunjukkan kekalutan, rasa frustasi, kemarahan, dan kemustahilan yang membayangi Indonesia hari ini. Sajak-sajak Afrizal dibangun dengan idiom-idiom “es krim”, “coklat”, “shampo”, “donat”, “sikat gigi”, body lotion, styling foam, “Coca-cola”, sejak tahun 1990-an, yang menurut Alfayyadl, mengantisipasi, tapi sekaligus membenarkan, datangnya suatu era baru, di mana benda-benda akan bertahta dan menggantikan manusia. Di dunia urban, kata Afrizal, “Kita hanya mengenang manusia, dari kota-kota, yang ditata kaleng-kaleng coca-cola” (Antropologi dari Kaleng-kaleng Coca-cola). Manusia tak lagi ditemukan, atau memang jangan-jangan, telah tiada. “Di manakah manusia kalian temukan di antara kartu pos, donat, dan serakan tisu?”
Rutininas yang semakin menyiksa, basa-basi yang membosankan, perilaku brutal di jalan raya, obsesi-obsesi yang membuat orang mempertaruhkan segalanya, tidur yang tak nyenyak lantaran minimnya rasa aman, pertemanan yang penuh kecurigaan, ternyata telah menguras banyak waktu dan tenaga. Oleh karena itu, subyek urban Jakarta sibuk menyelamatkan diri sendiri-sendiri--seperti menyelamatkan diri dari copet atau garong di Kopaja dan Metromini--terenyah-enyah berlari mengejar ekspektasi masing-masing. Tak terkecuali subyek pengarang, hingga yang muncul dalam karya-karya mereka adalah suara-suara “dari dalam diri”. Suara yang nyaris tenggelam dalam lautan kebisingan, yang senantiasa tersesat dalam lalu-lalang keramaian. Tak ada waktu untuk menyuarakan sesuatu “di luar diri”, lantaran mereka bukan malaikat penyelamat, bukan ratu adil, melainkan subyek yang juga tergilas oleh mesin-mesin urban dari waktu ke waktu. Maka, sebagaimana kata penyair Joko Pinurbo, tak ada lagi Minggu dalam diriku. Seluruh tubuhku sudah jadi hari kerja dan hari bicara.
***
*esai ini salah satu bagian dari paper panjang yang saya sampaikan dalam seminar sastra bertajuk "Suara Lokal, Suara Urban" pada Temu Sastrawan MPU, yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta, di Taman Menteng, Jakarta, 11 Oktober 2014.
*ulasan tentang cerpen Tunggu Aku di Pojok Jalan itu dan Cerita dari Jakarta, saya kutip dari esai "Cerpen, Ruang, dan Kota" karya Imam Muhtarom, yang terhimpun dalam buku Kulminasi (Teks, Konteks, dan Kota), Yogyakarta: Kasim Press, 2014
Comments