Lembar Sastra dalam Rimba Raya Cerita
Damhuri Muhammad
(Media Indonesia, 28/12/2014)
Bila tuan penyuka cerita, tuan tak perlu repot
pergi ke toko buku, mengobrak-abrik rak buku fiksi guna menemukan jenis cerita
yang sesuai selera. Di era facebook dan twitter, keseharian kita sudah bergelimang cerita. Di mana pun tuan
berada--sedang bersantai di rumah, menunggu pacar
di restoran cepat-saji, di sela jadwal rapat
yang padat, atau sekadar mengisi waktu dalam kalutnya kemacetan di Jakarta--tuan leluasa menyantap rupa-rupa cerita.
Tuan tiada bakal kekurangan stok cerita. Sebab, ia melimpah-ruah dan beralih-rupa
dalam waktu tak terduga. Tuntas satu cerita, tiba cerita baru yang lebih
dahsyat, hingga dalam beban persoalan yang kian berat, kita sedikit terhibur,
atau mungkin terpesona dibuatnya.
Ada kisah ringan
tentang ibu rumah tangga yang “ngomel-ngomel” di dinding facebook lantaran fenomena “Jilboobs”--berjilbab di kepala, tapi menganga bagian dada (boobs)--yang seolah menyindir gayanya berbusana. Betapa tidak? Kepala
memang sudah berkerudung, tapi wilayah dada masih membusung. Itulah awal mula
isu “Jilboobs” bergulir dan menjadi pergunjingan yang sibuk di media sosial.
Maklumlah, ibu muda itu baru saja terpanggil untuk berhijab, dan ia belum dapat
meninggalkan penampilan seksi sebagaimana dulu. Ia sudah punya niat baik, tapi dunia
maya malah menertawakan prosesi pertobatannya.
Atau kisah
tragis tentang bocah perempuan yang disiksa hingga meninggal dunia oleh ibu
kandungnya. Pasalnya sepele; saat ditinggal di rumah, si bocah asik bermain corat-coret
menggunakan lipstick milik ibunya. Ia
memperlakukan lipstick mahal sebagai kapur
tulis guna mencoreti dinding, daun pintu, hingga seprei. Setiba di rumah, ibunda
marah bukan main. Tega ia menghajar anak manisnya. Menjambak rambutnya,
menendangnya, hingga tersungkur di lantai, lalu mencekik anak-kandungnya itu
hingga tewas. Tak lama berselang, ibu muda itu menemukan secarik kertas berisi
tulisan pensil lipstick goresan
tangan almarhumah gadis kecilnya; I Love
Mama.
Ada pula ironi tentang
perempuan bercadar yang sedang
berbelanja di sebuah minimarket di Paris. Setelah mendapatkan barang-barang
kebutuhan, lekas ia menuju kasir. Kasir yang
dituju adalah perempuan keturunan Arab berbusana modern. Sinis ia menatap perempuan
bercadar itu. Ia menghitung nilai barang-barang
belanjaan perempuan bercadar, lantas melemparkannya secara kasar ke atas meja.
Tapi perempuan bercadar begitu tenang, hingga kasir kian geram. "Kita
punya banyak masalah di Prancis dan cadar kamu itu salah satu masalahnya. Di
sini kita berbisnis, bukan untuk pamer agama. Kalau kamu mau mengenakan cadar,
pulanglah ke negerimu dan jalani agamamu sesukamu!" Sesaat perempuan bercadar berhenti memasukkan belanjaan ke dalam
keranjang. Lekas ia membuka cadar, lalu menatap mata kasir. Wajah di balik
cadar ternyata wajah perempuan kulit putih dengan sepasang mata biru. "Aku
perempuan Prancis tulen. Begitu pula ibu-bapakku. Ini Islamku dan ini negeriku.
Kalian telah menjual agama kalian, dan kami membelinya."
Kisah-kisah semacam itu lalu-lalang
saban hari. Tak perlu repot mencari
alamat situsnya. Cukup mengikuti dinamika linimasa (timeline) masing-masing media sosial. Setiap user akan mendistrisibusikannya kepada sesama pengguna. Mungkin pada
mulanya tuan tak berminat, tapi karena tautannya terus-menerus menghujani
linimasa, mau tak mau, tuan akan membacanya, suka atau tak. Inilah jaman ketika
lubang kesendirian yang kita gali di dalam telepon pintar menjelma belantara
cerita, belukar kisah yang rimbun dan subur, dengan dramaturgi yang dapat diuji
ketajamannya, imaji tragik yang bisa dipertandingkan mutunya, elegi yang lebih
menikam tingkat kepedihannya ketimbang cerita garapan pengarang sungguhan. Lalu,
apa yang tersisa bagi cerpen koran?
Cerpen koran tak bisa melarikan diri
dari belantara maya itu, apalagi menganggapnya sebagai residu kelisanan belaka.
Cerpenis yang tak memiliki kepekaan pada realitas ganjil yang sedang menggejala,
akan terkepung dalam lingkaran keusangan yang kehilangan daya tariknya. Cerpen
bisa tersingkir dan tergeletak sebagai teks lapuk lantaran tak disentuh
pembaca. Sebab, cerita yang berseliweran di sekitar kita lebih tragik ketimbang
teks sastra yang di masa lalu mungkin dipuja sebagai karya besar dan adiluhung.
Maka, kreativitas untuk melahirkan bentuk-bentuk baru menjadi penting di ranah
kepengarangan. Menemukan ide yang genuine
memang bukan perkara mudah. Namun, bukan berarti kebaruan tak dapat digali, dan
realisme udik tak bisa diperbarui.
Upaya-upaya eksperimental dalam
merancang cerita menjadi salah satu pertimbangan rubrik cerpen Media Indonesia sepanjang 2014. Boleh
jadi gagasannya adalah etika politik yang dekaden sebagaimana tampak pada Pilpres
2014, namun cerpen tak berpretensi menghisap realitas itu seutuhnya. Satmoko
Budi Santoso dalam Peci Ayah (MI,
31/8/14) misalnya, hanya menggunakan imaji tentang peci yang melekat di kepala ketua
RT. Lipatan peci yang biasa digunakan ketua RT untuk menyimpan uang, berkembang
menjadi sumber kecurigaan warga, bahwa ia juga menyimpan uang hasil korupsi di
situ. Simbol peci yang berkonotasi kesucian dikontradiksikan dengan watak korup
yang bejat. Satmoko mengaburkan makna “peci’ menjadi dunia abu-abu. Keterpujian
yang bersenyawa dengan ketercelaan, hingga keduanya tak dapat dipisahkan.
Dalam konteks berbeda, imaji tentang
peci terulang pada Lelaki Berpeci (MI,22/6/14) karya Yusri Fajar. Di sini peci
dicurigai sebagai atribut yang erat kaitannya dengan radikalisme, sebagaimana imaji
banyak orang tentang cadar dan sorban, sejak maraknya fundamentalisme agama di
berbagai belahan dunia. Sekali lagi, cerpen mempertukarkan “yang putih” dan “yang
hitam” dalam ruang metafiksionalnya. Bila etika dan agama menegaskan garis
demarkasi bahkan menempatkan “yang mulia” dan “yang tercela” secara hierarkis,
sastra bekerja mencampur-baurkannya, membuat keduanya berkelit-kelindan, hingga
sukar memilahnya. Dalam “yang tercela” selalu saja ada “yang pantas dipuja,”
atau sebaliknya.
Eep Saefulloh Fatah dalam Jaket Ayah (MI 4/5/14) juga menunjukkan
upaya eksperimental serupa. Muka dua kaum politisi yang sudah jamak dalam
penglihatan kita, tak direkam dalam gambaran utuh, tapi hanya dikisahkan
melalui atribut partai di musim kampanye. Jaket yang sejatinya menjadi
identitas sekaligus kebanggaan terhadap partai yang mengantarkan seorang
politisi menjadi bupati, di tangan pengarang berbalik menjadi muasal kebencian,
hingga Eep mengunci cerpennya dengan adegan seorang istri membakar jaket partai
milik suaminya, lantaran kecewa pada lelaku politik yang telah mengubah
suaminya menjadi individu ambisius, lalu menghalalkan segala cara demi
merengkuh kekuasaan.
Upaya
kreatif dalam pencarian bentuk baru telah memunculkan nama-nama baru dengan kedalaman
refleksi dan keterampilan teknis yang layak diperhitungkan. Sebutlah misalnya, cerpen
Keputusan Ely (MI 3/8/14) karya Dewi Kharisma Michellia, dan Kisah
Sedih Kontemporer (MI,
7/12/14) karya Dea Anugrah. Michellia mengembangkan layar imaji tentang
keretakan hubungan suami-istri yang berakibat berat bagi anak-anak usia pradewasa.
Tak ada kekerasan, juga dialog-dialog yang menggambarkan perseteruan sebelum
perceraian. Ia hanya membangun karakter Ely, yang mengangkut semua mainan
kesayangan semasa masih bersama ayah kandung, ke rumah ayah tiri yang tidak ia
sukai. Di sana, Ely merawat ingatan bahwa dirinya masih berada di pangkuan ayah
kandung. Ruang penceritaan penuh dengan halusinasi tentang ayah yang hilang dan
masa kanak-kanak yang lekas berlalu. Cerpen dikunci dengan penegasan bahwa
sejatinya ayah Ely sudah lama meninggal dunia, hingga ceracau gadis kecil di
sepanjang cerpen itu hanya sandiwara yang tak perlu. Tapi, imaji pembaca
mustahil direnggut begitu saja. Problem psikis yang dialami Ely tetap menjadi “penyakit
jiwa” yang bisa menimpa siapa saja.
Dea Anugerah merancang
sentimentalisme terhadap pseudo-romantika dunia maya. Cinta sejati, belahan jiwa,
setia sampai tua sebagai “ideologi”
dalam romantika masa silam hendak dipatahkan, atau ditempatkan sebagai jargon
lapuk yang tak layak dipercaya. Kisah
Sedih Kontemporer adalah kamuflase dalam hubungan percintaan modern. Banyak
yang latah mengucapkan rindu dan cemburu dalam hubungan “terselubung”
yang berlangsung tanpa perjumpaan fisik. Ada yang patah hati lantaran merasa
dikhianati, frustasi hanya karena pasangan abai membalas pesan yang terkirim
melaui private message, padahal
mereka tak pernah bertemu-muka. Banyak orang terobsesi hendak meng-online-kan perasaan, tapi mereka kerap
tersiksa, hanya karena mati lampu atau koneksi internet terputus tiba-tiba.
Ekplorasi imajiner dengan corak
kebaruan serupa dapat pula ditemukan pada Menara
Dosa (MI, 13/7/14) karya Maya Lestari Gf,
Seekor Capung Merah (MI,
25/5/14) karya Rilda A. Oe. Taneko, dan Dunia Angka (MI, 27/4/14)
karya Wina Bojonegoro. Para pendatang baru yang patut jadi perhatian, setelah
generasi Taufik Ikram Jamil, Arswendo Atmowiloto, Yanusa Nugroho, Gus Tf Sakai, Agus Noor, Ratih Kumala, Iksaka
Banu--sekadar menyebut beberapa nama.
Demikianlah semestinya peran lembar sastra di harian
dengan segmen pembaca umum. Ia mempertimbangkan bacaan yang tak hanya bisa
dikonsumsi penyuka sastra, tapi juga dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya
pembaca. Selain itu, lembar sastra tak melulu mengisi ruangnya dengan nama-nama
besar, tapi memberi peluang pada nama-nama baru dengan mekanisme kuratorial
yang ketat dan terukur. Maka, tunai pula tugas koran selanjutnya; melahirkan
cerpenis baru guna memperkaya khazanah sastra. Jayalah terus cerpen Indonesia…
Damhuri Muhammad
Kurator cerpen lembar sastra Media Indonesia
Comments