Tentang Puisi Mantan Presiden
Damhuri Muhammad
Sejarah puisi adalah sejarah yang pahit. Puisi
kerap dicurigai, ruang geraknya dibatasi, tak jarang penyair dimusuhi, bahkan
dilenyapkan tiada ampun. Bagi filsuf Plato, penyair tak lebih dari seorang
penutur di jalan sesat. Lelaku kepenyairan sekadar peniruan yang tak akurat
dari dunia senyatanya. Puisi berlumur dusta ketimbang menyingkap wajah
kebenaran. Di belahan Timur, para penyair Arab seperti Zuhair, Trafah, dan Imrul Qays, dianggap kaum laknat, orang-orang majnun yang bertutur dengan kekuatan
sihir, karena itu tak pantas dipercayai. Sejarah kita mencatat sebuah tragedi
ketika Hamzah Fansuri (1607-1636) dienyahkan oleh kekuasaan Sultan Iskandar Muda,
lantaran syair-syairnya dianggap menyebarkan ajaran tasawuf yang sesat.
Kini, lembaran
tarikh puisi yang suram itu telah ditutup. Puisi tak lagi dianggap berbahaya. Di
republik ini, selepas tragedi Wiji Thukul (1998), hampir tak ada lagi penyair yang dimata-matai
oleh tentara. Puisi telah disambut ramah di istana negara. Susilo Bambang
Yudhoyono, di ujung masa baktinya sebagai presiden RI, bahkan menerbitkan
sebuah buku puisi bertajuk Membasuh Hati
di Taman Kehidupan (2014). Diluncurkan
di Istana Cipanas, 8 Agustus 2014 lalu, dan dihadiri oleh beberapa penyair yang
tak asing lagi dalam peta sastra Indonesia. Penyair Taufik Ismail tampil dengan
mata berkaca-kaca, membacakan puisi karya presiden RI ke-6 itu.
Pandainya kau berdusta/dan bergaya/dalam kata-kata/yang
tak pernah ada/Teganya kau bersandiwara/bertopeng sepuluh warna/dan mendongeng
seribu cerita/bualan sempurna/Kenapa kau berbohong?/Itulah dirimu yang kosong/terjatuh
di kegelapan lorong. Begitu bunyi puisi bertajuk “Dusta” yang menurut
catatan di bagian bawahnya; ditulis SBY di Cikeas, 4 Februari 2004. Hanya SBY
dan Tuhan yang tahu siapa yang “pandai berdusta” itu. Oleh karena puisi itu
ditulis sebelum ia terpilih sebagai presiden periode pertama (Oktober 2004),
boleh jadi subyek yang “tega bersandiwara” itu adalah lawan politik, sekadar memotret
lelaku hipokrit seorang politisi, atau semacam otokritik untuk dirinya sendiri.
Betapapun individu yang “bertopeng sepuluh warna” itu sukar dilacak, nuansa
politis yang kental, hipokrasi yang tak malu-malu, dan aroma politik pencitraan,
tak bisa lepas dari puisi itu.
Benar, jika aku sibuk melihat orang lain/kapan aku
bisa melihat diriku sendiri/yang tidak luput dari kurang dan khilaf/Benar, jika
orang lain selalu kulihat keburukannya/kapan aku bisa melihat kebaikannya/yang
diriku pun belum tentu punya. Cuplikan puisi “Taman Hati” (2010) ini lebih terasa sebagai nasihat ke dalam diri,
ketimbang himbauan bagi khalayak ramai. Memang, presiden adalah juga manusia,
yang tak luput dari salah dan khilaf. Tapi di lingkaran istana, siapa yang
berani mengingatkan presiden secara langsung? Maka, lebih baik ia melihat ke
dalam, atau setidaknya menyikapi hujatan dari luar pagar istana dengan puisi. Bukan
menyangkalnya dengan pidato yang hanya akan menyingkap muka sangar
penguasa.
Antologi
Membasuh Hati di Taman Kehidupan
merupakan kompilasi dari dua buku puisi yang sudah terbit dalam edisi terbatas
sebelumnya, yaitu Taman Kehidupan
(2004) dan Membasuh Hati (2010),
dengan beberapa penambahan puisi baru. Buku itu dikata-pengantari oleh penyair
Mustofa Bisri dan novelis-dramawan terkemuka Putu Wijaya. Keduanya menyikapi
puisi-puisi presiden dengan ulasan yang sesederhana puisi-puisi itu sendiri,
dan sedapat-dapatnya tidak terjerumus pada kajian, apalagi analisis yang
mendalam dan komprehensif. Sebab, pada bagian pengantar penerbit, telah ditegaskan
bahwa puisi-puisi itu ditulis SBY dengan bahasa sederhana tanpa pretensi untuk
disebut penyair. SBY berbicara tentang kasih sayang dan cinta, tentang perdamaian dan
persahabatan, serta likuliku kehidupan. Dengan begitu, tak perlu pula diperdebatkan,
apakah SBY sudah layak disebut penyair atau tidak?
Adapun
yang perlu dipertanyakan adalah sejauhmana akibat dari keterlibatan kepala
negara di dalam puisi terhadap dunia perpuisian kita yang sedang paceklik. Buku
puisi mantan presiden itu terbit bersamaan dengan musim buruk di dunia puisi kita. Dari
aspek pasar, sejumlah toko buku menyatakan keberatan menyediakan tempat bagi
buku puisi. “Tak punya nilai-jual,” “tak mungkin best-selling,” “hanya menyesaki rak,” begitu dalih mereka. Seorang
petugas pencatat kerjasama penjualan konsinyasi pernah bilang; “Berhentilah
menerbitkan buku puisi! Lebih baik jualan buku masak-memasak atau buku panduan
cara bersolek!” Banyak penerbit yang mengeluh, meski tetap bersetia pada puisi.
Banyak yang terpaksa menghentikan produksi, banyak pula yang muncul kembali.
Begitulah tarik-ulur minat penerbit terhadap puisi di republik yang telah
melahirkan Amir Hamzah, Chairil Anwar, WS Rendra, Sitor Situmorang, dan
Sutardji Calzoum Bahcri.
Kedigdayaan pasar yang tegak
di atas pemberhalaan pada uang, bukan sekadar merendahkan, tapi sedang
membinasakan dunia puisi secara perlahan. Bila dalihnya kelarisan, kecap dan
terasi juga barang yang laku di pasaran. Tapi sebagai anak kandung peradaban
yang diakui di belahan dunia mana pun, puisi tak selayaknya ditakar semata-mata
dengan parameter laku-tak laku, apalagi dengan kalkulasi untung-rugi belaka.
Buku laku belum tentu buku bermutu. Tengoklah, deretan karya picisan yang tidak
berangkat dari kedalaman pikiran, justru laris bagai martabak terang-bulan,
sementara puisi yang didedahkan dengan pencapaian artistik, justru tergeletak,
tak tersentuh, lalu berdebu selama berbulan-bulan. Inilah keadaban yang
gandrung memuja kedangkalan dan bersuka-ria dengan kepandiran. Tidak ada
keharusan bagi kepala negara untuk terlibat secara langsung dalam dunia puisi,
kecuali bila kebetulan yang bersangkutan memang menyukai puisi. Adapun yang
perlu dipertimbangkan oleh seorang kepala negara adalah mengembalikan marwah
dan kehormatan puisi, sebagai anak kandung dari kebudayaan.
Pada sampul album Tembang untuk Bangsaku (2011), SBY
menulis; “bila
berkomunikasi dengan dasar logika, ukurannya benar-salah, dan berbicara dengan
dasar etika, ukurannya baik-buruk. Tapi dengan musik, kita dapat berbagi dengan
rasa.” Itu pula yang terjadi ketika ia menapaki bahasa puisi, bahasa rasa, yang
melampaui ukuran benar-salah dan baik-buruk. Saatnya
hampir tiba/Pilkada di sebuah kota/Yang Baru menantang Yang Lama/Entah siapa
yang bakal berkuasa/Yang Baru harus punya peluru/Obral janji pun tak harus ragu/Fitnah
dan fakta bisa jadi satu, kata SBY dalam puisi “Pilkada” (2010). Sinisme pada
silang-sengkarut persaingan liar dalam kontestasi pemilihan Kepala Daerah
melalui puisi, tak berpretensi menuding atau menyalahkan siapa-siapa. SBY masih
tegas berpihak pada Pilkada langsung, meski fraksi Partai Demokrat yang
dipimpinnya walk out dari sidang
paripurna, hingga pendukung Pilkada langsung kalah suara. Mengingat hak rakyat
untuk memilih langsung telah dipenggal, puisi “Pilkada” setidaknya akan menjadi
monumen penting tentang peristiwa demokrasi yang pernah ada dan berlangsung penuh
hingar-bingar di republik ini.
Sebagaimana
keterlibatan SBY--saat menjadi
presiden--di dunia musik, yang diharapkan oleh etnomusikolog
Franki Raden sebagai insider yang dapat melakukan “intervensi
kreatif” guna mendudukkan posisi dunia musik Indonesia, dan sebagaimana mantan
presiden itu telah menunjukkan sedikit perhatian pada dunia puisi, begitu pula hendaknya presiden yang baru
bersikap terhadap dunia seni pada umumnya. Jokowi barangkali tidak perlu
menciptakan lagu, meluncurkan album, apalagi menerbitkan antologi puisi, tapi
cukup dengan menunjukkan itikad untuk memartabatkan
dunia kesenian di Indonesia, membuat negara menghargainya, berkontribusi secara terukur dalam iklim
kekaryaan, dan memanusiakan para pelakunya…
Comments