Gendang Kepulangan Leon Agusta


 
Damhuri Muhammad

(versi cetak artikel ini tersiar di harian Padang Ekspres,  Minggu, 13 Desember 2015)


Abang bahagia sebagai penyair?” Itulah pertanyaan penting yang dengan amat hati-hati pernah saya ajukan kepadanya. Ia hanya diam sembari menengadah, menimbang-nimbang sesuatu untuk diungkapkan. Bagi saya, diamnya cukup sebagai jawaban.Di kurun yang begitu sesak oleh kekeruhan yang tak terpermanai ini, rasanya kejernihan hanya dapat dipandang dari balik jendela puisi. Di jaman ketika kemunafikan diperjuangkan mati-matian, dan kejujuran dianggap ketercelaan, tubuh kebenaran hanya bisa disingkapkan oleh puisi. 
Sejak lama sahabat saya itu telah memilih jalan puisi. Ketika fotografer amatir seperti saya dipercayainya untuk membuat foto-profil guna dipasang di sampul belakang buku puisi terkininya Gendang Pengembara (2012), lensa kamera saya menangkap aura bercahaya dari raut mukanya. Ekspresinya dingin, tapi begitu tajam, seperti Charles Bronson. Lembut, tapi sedemikian tangguh, seperti Robert de Niro. Ia bernama Leon Agusta (1938-2015). Kabar duka yang saya terima dari putrinya, Julia Agusta, Kamis (10/12/15), membuat saya tertunduk lama, lalu hanyut dalam kesedihan yang panjang.






Leon Agusta, lahir 5 Agustus 1938 di Maninjau, kota kecil di pinggir danau. Setelah menyelesaikan SGA di Payakumbuh (1956), ia mengajar di SGB Sijunjung, Sumbar. Pada 1957 ia pindah ke Bengkalis (Riau), hingga SGB ditiadakan pada 1961. Selepas itu ia pindah ke Pekanbaru, mengajar di SMP, sampai 1964. Ia berhenti setelah menandatangani Manifesto Kebudayaan (MANIKEBU). Masa itu ia merasa tak nyaman lagi  menjadi pegawai pemerintah. Dengan dakwaan pasal 107 KUHP (pasal yang terkenal dengan hatzaai artikellen), dari 21 Januari hingga 20 Juli 1970, ia menjalani hukuman di penjara Tanah Merah, Pekanbaru. Sejumlah sajak yang ia tulis selama di penjara tersiar di majalah sastra Horison edisi Desember 1970. Selepas peristiwa Malari (1974), ia juga sempat ditahan di Padang.
Leon mengikuti International Writing Program, di Iowa City, Amerika Serikat (1975), Theatre Observer di Festival Teater Internasional di Perancis (1977), peserta Pacific People Theatre Festival di San Jose, California (1978). Ia menyelenggarakan Theatre Workshop di National School of Drama, New Delhi, India (1980). Agustus 1989, ia diundang sebagai peserta Struga International Poetry Reading Festival (Yugoslavia). Desember 1989, ia mengikuti  Marbyd Poetry Festival di Baghdad. Sejak 1986-1990 ia sekretaris eksekutif Dewan Kesenian Jakarta, dan kemudian dipercaya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab, Cina, Korea, Polandia, Islandia, Belanda, Inggris, Perancis, dan Macedonia.
Trauma akibat peristiwa PRRI sangat mempengaruhi kepenyairannya. Sejarah resmi menyebut peristiwa itu sebagai pemberontakan PRRI, sementara Leon menyebutnya perang saudara. Dua istilah yang berseberangan. Abang dan ayahnya bagian dari korban perang saudara itu. Perang saudara itu menggoreskan luka dan selalu terbawa di sepanjang hayatnya. Hati yang menjerit terluka dalam puisinya menjelma pekik perjuangan, meski dengan suara yang terdengar ganjil atau tertahan; rasa ngilu dan keperihan yang menyimpan doa. Penyair ini mengalami tekanan keharusan menjaga keselamatan dirinya agar tak menjadi mangsa kekuasaan (selfcensorship). Inilah alas dari sajak-sajak HUKLA, bahasa stylish, trade mark, sekaligus ideolek kepenyairan Leon. Bentuk baru yang otentik; Kata Pengantar pada Hukla, Hukla Final Pacuan Kuda, Hukla Mimpi Tanpa Akhir, Hukla Mengganti Rakyat, Hukla Tangis Anak, Hukla Koran Lisan,  Hukla Pesta di Rumah Edan,
Leon adalah penyair flamboyan yang tersohor. Ia telah melancong ke mana-mana. Mengecap asam-garam pergaulan dengan seniman-seniman kelas dunia. Sejawatnya orang-orang besar, dari pengusaha, teknokrat, hingga mantan presiden. Tapi, kesehariannya jauh dari keriuhan mimbar-mimbar perbincangan sastra, tak terlalu sering tampil di forum-forum diskusi puisi, apalagi muncul membacakan sajak-sajak yang didramatisir dengan tangis pura-pura di layar televisi. Di usia 77 tahun, sahabat saya ini masih mampu bepergian sendiri, menghadiri obrolan-obrolan ringan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jakarta, dan sesekali bermain catur. Lantaran asma yang dideritanya, setiap bepergian ia selalu menenteng alat pengencer dahak yang sewaktu-waktu diperlukan. Ia tak punya sopir, apalagi mobil pribadi. Tapi, dalam setiap diskusi santai yang sempat saya singgahi, setiap kali Leon berbicara, saya selalu ingin mencatatnya sebagai puisi. Cara ia menggeser posisi duduk, menatap lawan bicara, bahkan caranya mengatur napas tatkala sesaknya kambuh, bagi saya, adalah juga puisi. Mungkin karena ia begitu kokoh bertahan di jalan puisi. Berpegang-terus pada puisi, senantiasa bergelimang puisi. Live in art.
Leon adalah pengembara keras kepala. Dengan mesra kusandang dosa itu/sudah diamanatkan bagiku: mengembara/bagi hasratku yang berjalan jauh/hingga sudah biasa aku berpisah/napas damai dan tidur yang nikmat/khianat diterima tanpa kesumat/kini aku menghempas sendiri/loncat dan terusir dari segala dekapan/setelah amanat diterima:mengembara (Mengembara, 1970). Etos mengembara dalam sajak itu seolah-olah telah menjadi dosa turunan, yang suka atau tak, mesti ditempuh-dijalani. Bagi Leon, mengembara itu selamanya, tak ada sudahnya. Maka, bukan saja cita-cita kepulangan yang mesti ia tiadakan, tapi juga tujuan dari pengembaraan itu sendiri. Akibatnya, Leon harus membebaskan diri dari segala godaan untuk berhenti mengembara. Ia mengamalkan sebuah tarekat guna melupakan gerak langkahnya sebagai petualangan. Orang-orang berkelompok/melupakan nama masing-masing/mereka adalah kafilah/jemaah pengungsi kehilangan tujuan  (“Gendang Pengembara,” 2006)  
Di titik inilah perbedaan antara jalan puisi dan jalan filsafat. Bila tradisi diskursif-spekulatif di medan filsafat senantiasa mengayuh biduk menuju hulu, yang diniscayakan sebagai tempat kebenaran bersemayam, puisi justru menggali lubang-lubang kemungkinan sebanyak-banyaknya, agar pencarian tak berlabuh pada wujud kebenaran yang bulat, dan tak melulu tertumpu pada arche transendental yang tunggal. Filsafat begitu menggebu-gebu hendak menggapai “semesta kepastian,” puisi asyik dan tabah menyingkap pintu-pintu “keserbamungkinan.” Leon menapak di jalan yang kedua. Pengembaraan puitiknya adalah kembara tanpa peta, adalah kelana tanpa muara. 
Bila sungai-sungai bermuara ke lautan/laut manakah muara bagi sungai dalam hatiku/bila burung-burung terbang bebas di cakrawala/manakah cakrawala tempat mengembangkan sayap/bagi rindu yang menggelepar dalam dadaku/bila taman-taman pun juga punya pengasuh/siapakah pengasuh jiwaku yang buncah ini? (“Ya, Kita Menerlukan Seorang Kekasih,” 1967). Tiada muara bagi sungai yang mengalir dalam hati Leon. Tak akan pernah ada cakrawala bagi rindu yang menyala dalam dadanya. Sajak-sajak Leon adalah putra laut tanpa benua, mengembara di seantero lautan, menengadah pada kabut, mencari cahaya gaib, burung-burung di awan gemawan, kembara tanpa tujuan, tanpa peta buat kembali, sebilah panah yang patah tanpa sasaran, hilang tanpa daerah (“Bahan Sebuah Kisah,” 1967).
Kita boleh saja telah menjadi saksi bagi kepulangan sang pengembara pada Kamis petang yang berkabut itu. Tapi dari kejauhan, saya sama sekali tidak melihat Leon pulang. Alih-alih pulang, saya justru melihat Leon masih pergi, dan lagi-lagi  masih pergi. Leon Agusta baru saja memulai sebuah pengembaraan baru, yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Selamat jalan, selamat mengembara ke dunia yang jauh, Abangku Sayang…


Comments

Popular Posts